Senja itu hujan lebat. Kabut menggantung hingga jarak
pandang tak seberapa. Hanya sekitar satu setengah meter. Di laut gelombang
lumayan ganas. Ribuan manusia berseliweran di pelabuhan kota kecil pinggir
pantai. Matahari hampir raib ke peraduan, kapal telah dua kali memberi tanda
akan bertolak. Dari berita sebuah koran lokal terbaca prakiraan cuaca dari BMKG
beberapa minggu kedepan hujan disertai angin kencang melanda hampir diseluruh
wilayah provinsi ini. Bahkan perairan diseluruh wilayah inipun akan diamuk ombak
setinggi tiga sampai empat meter.
Hujan mulai reda berganti rinai rintik. Orang-orang
menggunakan payung, ada juga yang berjas hujan. Sedangkan buruh-buruh
membiarkan tubuhnya dibasahi hujan bercampur asin keringat. Diantara hiruk-pikuk
kesibukan pelabuhan ada seorang pria muda. Pria itu berkulit sawo matang dengan
ransel coklat yang melekat di punggungnya. Ia bergegas menuju ruang tunggu, Ara
namanya. Bepergian dengan kapal laut terakhir ia jalani enam tahun silam ketika
mengikuti Dikalat Prajabatan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Lantaran cuaca Desember terus hujan, angin bahkan kabut, hingga Ara lebih memilih melakukan perjalanan kali ini dengan kapal laut. Dengan tiket di tangan kiri dan tangan kanannya menggenggam erat jemari mungil seorang perempuan. Keduanya berjalan cepat menuju tangga darurat lantaran kapal mulai beranjak menjauh dari pelabuhan.
Lantaran cuaca Desember terus hujan, angin bahkan kabut, hingga Ara lebih memilih melakukan perjalanan kali ini dengan kapal laut. Dengan tiket di tangan kiri dan tangan kanannya menggenggam erat jemari mungil seorang perempuan. Keduanya berjalan cepat menuju tangga darurat lantaran kapal mulai beranjak menjauh dari pelabuhan.
Terdengar teriakan seorang petugas pelabuhan pada keduanya agar
sejoli ini lebih cepat melangkah. Hampir saja Ara dan perempuan itu tertinggal kapal.
Syukurlah keduanya lolos naik ke kapal. Dari dek enam keduanya menuruni anak
tangga demi mencari kabin yang kosong untuk
ditempati. Ketika sampai di dek tiga terlihat lengang, maklum ini akhir tahun
orang-orang lebih memilih mudik daripada keluar kota. Ara dan perempuan yang
telah dinikahinya enam tahun silam itu akhirnya mendapatkan tempat tidur.
Setelah menyimpan tas dan istirahat sejenak pasangan suami
istri itu lalu beranjak ke Kafetaria. Layaknya anak muda zaman now keduanya berselfi
ria disaat kapal mulai lepas tali menuju samudra luas. Melewati selat yang
kecil dengan arus gonsalu yang terkenal ganas, kapal melaju membelah ombak. Senja
diufuk mulai memerah pertanda malam segera tiba. Tibalah masanya sujud senja,
segera kedua sejoli menuju musholla yang berada diburitan kapal. Kesejukan air
wudhu membasuh wajah, letih dan lelah serasa hilang seketika.
Ara mengumandangkan
azan. Kali ini penuh tawaddhu ia gemakan suaranya demi memanggil jamaah untuk
kembali berserah diri dihadapanNya dan merapalkan do'a dan pujian kepada sang
Robbul Izzati. Seusai Sholat Magrib kedua sejoli kembali menikmati hembusan
sepoi angin senja. Kembali bernostalgia mengingat masa pertama kali kedua sejoli ini menimba ilmu di
Kota Daeng.
Ara guru kampung, yang saban hari berjibaku dengan seabrek
aktivitas mengajar. Sesekali ia diundang menjadi nara sumber di sekolah-sekolah
pelosok. Sang guru kampung yang akhir-akhir ini gemar menekuni dunia tulis
menulis itu, tahun ini sengaja berlibur ke Kota Daeng, tanah yang melahirkan Hasanuddin pejuang
kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan julukan ayam jantan dari timur.
Pukul 03.45 Ara si guru kampung telah terjaga, ini kebiasaan
yang melekat pada mantan santri ini. Ia bangunkan kekasihnya kemuadian kedua sejoli
ini menuju Mushollah menunaikan kewajiban sholat subuh dan bermunajat semoga
pelayaran senja ini senantiasa dilindungi maha penguasa alam raya. Pagi ini tak
telalu cerah, awan-awan hitam serupa bongkahan gunung es menggantung di langit,
udara segar terasa sejuk, alam teduh penuh khusu seakan bermunajat pada yang
kuasa. Meski matahari seakan malu menampakkan wajahnya namun laut tenang ramah
menampung keteduhan, . Semakin lama semakin jelas terlihat garis-garis warna. Di
kiri dan kanan tak lagi terlihat gugusan pulau, kini kapal tengah berada di
samudra nan luas. Dari kejauhan samar terlihat sebuah benda berbentuk memanjang
berwarna kemerahan, kini semakin jelas terlihat jaraknya tak terlalu jauh, "
ternyata kita tak berlayar sendiri",
bisik lembut sang istri pada telinga ara. Sekira 2 mil dari kapal yang ditumpangi
kedua sejoli ini ada sebuah kapal barang melaju disisi kanan kapal penumpang
ini. Mungkin ini "Tol Laut" salah satu program pemerintah untuk
mendekatkan pelayanan bahan pokok dengan harga yang dapat dijangkau masyarakat,
ungkap perempuan disampingnya.
Laut begitu sabar menampung serakan sampah yang mengapung
dibawa arus, dibuang oleh mereka yang tak memiliki empati, laut yang juga
ikhlas diarungi kapal-kapal, meski kapal-kapal itu berlalu datang dan pergi
begitu saja, Ara membatin, dihadapannya perempuan teman kelasnya tatkala SMP
dahulu yang kini telah menjadi pendamping hidupnya sejak enam tahun silam. Kedua
sejoli ini masih terus setia menikmati segarnya bayu pagi.
Waktu terus berlalu, deru mesin kapal mengantar Ara dan
ribuan angan. Pria penikmat sastra yang tengah gemar menekuni dunia tulis
menulis itu terus berpacu dengan sejuta inspirasi dan mengutak-atik keyboard
HPnya demi menyelesaikan sederet sajak. Ia tak mau ide sederhana itu dibiarkan berlalu
tanpa dijadikan skrip yang mungkin saja kelak beguna, walau sekadar menghiasi
dinding akun facebooknya. Karena baginya telah banyak ide-ide "gila"
dari orang-orang cerdas yang pernah berdiskusi dengannya namun raib tanpa bekas
lantaran tak diarsipkan dengan baik. Ia ingin ide-idenya menjadi warkat
walaupun hanya pada anak-anak kampung. Meski hanya menjadi pemicu semangat
membaca.