BUDAYA
MEMBACA DAN KETERSEDIAAN BAHAN BACAAN
Oleh
Asy’ari Hidayah Hanafi, S.Pd
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI)membaca merupakanan kata kerja yang berarti melihat serta memahami isi
dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Sedangkan menurut Retno Utami (2007:1) Pada
hakikatnya membaca merupakan proses memahami dan menemukan makna yang
terkandung dalam bahan bacaan. Pengenalan makna kata sesuai dengan konteksnya
merupakan syarat awal yang diperlukan untuk memahami pesan yang terdapat dalam
bahan bacaan. Dalam perspektif islam membaca merupakan ajaran yang jelas dan
tegas. Al-Qur’an secara dini mengisyaratkan pentingnya membaca dan meningkatkan
minat baca. Dalam Al-Qur’an perintah membaca adalah wahyu pertama yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hal initermuat dalam surah Al-Alaq
ayat 1-5.
Artinya membacamerupakan kegiatan dan
kemampuan khas manusia. Walaupun demikian membaca tidak terjadi secara
otomatis, membaca harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat baca.Untuk
meningkatkan minat baca ini, kendala yang dihadapi di antaranya adalah dukungan
fasilitas. Keberadaan bahan bacaan masih kurang dekat dengan orangnya. Toko
buku pun lebih banyak berada di perkotaan. Sementara dipedesaan sanagat sulit
ditemui.
Perlu kita ketahui bersama bahwa peringkat
minat baca Indonesia dalam data World's Most Literate Nations berada di urutan
60 dari 61 negara. Peringkat tersebut merupakan hasil penelitian dari Central
Connecticut State University tahun 2016. Selain itu, pada tahun 2012
Unesco melansir index tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001. Itu
artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan
serius.Hal yang sangat berbeda dengan yang terjadi di Malaysia misalnya. Setiap
orang di Malaysia bisa mengahbiskan tiga judul buku bacaan per tahunnya. Apalagi
untuk negara maju seperti Jepang. Bisa di atas lima sampai sepuluh buahbuku per
tahun per orangnya. (www.jppn.com.08/06/2016)
Ada
dua jenis minat baca yakni membaca karena paksaan dan membaca karena
kemauan sendiri. Cara yang mudah untuk membedakan keduanya adalah dari
“kenikmatan” yang tampak. Mereka yang membaca karena terpaksa tentu
melakukannya dengan muram sehingga cepat jenuh.
Sebaliknya, yang melakukannya atas
kehendak sendiri akan tampak aysik dan seakan-akan ingin “melahap” semua
waktunya untuk membaca. Selain itu juga tampak dari hasilnya. Karena betapapun
keras peraturan yang diterapkan tentang keharusan membaca, hasilnya tidak akan
pernah lebih baik bila dibandingkan dengan membaca yang dilakukan atas kemauan
sendiri. Artinya harus diupayan agar minat baca pada anak tumbuh karena keinginan
sendiri. Untuk itu orang tua memegang peranan utama serta harus berupaya agar
membaca menjadi sesuatu hal yang disukai. Karena hal ini akan membuat anak
menjadi selalu memiliki waktu untuk membaca. Hal ini lah menjadi titik awal
salahnya.
Hal senada disampaiakan Imron Rosidi (2011)
bahwa kegiatan membaca menjadi sebuah kegiatan yang mengasyikkan apabila sudah
menjadi budaya. Perlu adanya pembiasaan tanpa paksaan sampai masyarakat dalam
lingkungan tertentu agar senang membaca.
Menumbuhkan
minat baca
Seperti halnya kegiatan pembelajaran
yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif
apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Hal ini menuntut keikutsertaan
orangtua. Karena peletak pondasi utama pendidikan anak adalah orangtua. Dengan
demikian orangtualah yang sesungguhnya menjadi penentu berminat atau tidaknya
seorang anak terhadap buku atau bahan bacaan. Para orang tua harus memastikan
bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi
seorang anak. Kegiatan membaca harus dilakaukan dari lingkungan paling kecil
yakni keluarga. Orangtua harus menanamkan budaya baca kepada anak-anak sejak
dini.hal tersebut dapat membentuk budaya baca ketika mereka dewasa.
1. Orangtua
Upaya orangtua akan lebih optimal
apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit misalnya; hendaknya
memperbaiki kualitas perwajahan buku, ilustrasi, isi, dan cara penyajian yang
tentunya menarik minat pembaca terutama anak-anak. Pemanfaatan metode “komik” dalam mengulas materi pelajaran misalnya.
Penerbit juga hendaknya melakukan atau memperbanyak kegiatan promosi buku.
Tidak hanya di sekolah maupun perpustakaan, tetapi juga dilokasi-lokasi yang
menjadi kegemaran anak-anakseperti taman bermain dan lain sebagainya.
Mendorong minat baca dimulai dengan
keteladanan, " Jika guru ingin siswanya membaca, maka gurunya juga harus
membaca. Demikian juga dengan orangtua, jika ingin anaknya membaca maka,
orangtua harus membaca". Ada berbagai cara membuat kegiatan membaca
menyenangkan, seperti mengajak alumni yang berkecimpungan di dunia penulisan
untuk berbagi mengenai dunia baca tulis, dan butuh peranan publik untuk mewujudkanya.
peningkatan kemampuan membaca penting karena akan sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam keseharian. Disisi lain, membaca juga menjadi awal yang baik untuk menulis. Sebab dengan banyak membaca dapat membentuk imajinasi yang sistematis dalam berpikir.
peningkatan kemampuan membaca penting karena akan sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam keseharian. Disisi lain, membaca juga menjadi awal yang baik untuk menulis. Sebab dengan banyak membaca dapat membentuk imajinasi yang sistematis dalam berpikir.
2.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan
sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Antara lain dengan
mengubah pola pengajarn dari teacher
based learning menjadi resources based learning. Pola ini
mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya
sendiri, antara lain diperpustakaan. Selain itu, perlu adanya reward bagi siapa saja yang mau secara
konsisten memanfaatkan koleksi perpustakaan. Sekolah juga perlu mengintensifkan
kegiatan yang merangsang aktivitas membaca, misalnya pendidikan dan pelatihan
menulis, lomba menulis, bedah buku, dan diskusi buku. Praktik pendidikan perlu
menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran agar semua warganya tumbuh
sebagai pembelajar sepanjang hayat. Untuk mendukung hal ini, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan telah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
3. Dari
pihak masyarakat harus mulai mengubah pemahaman yang keliru. Selama ini anak
yang suka membaca justru dianggap aneh, bahkan dijuluki “kutu buku” atau lebih
dari itu dianggap “kurang pergaulan”, egois, sok pintar dan sebagainya. Tentu
anak tidak suka dengan julukan yang demikian karena hal ini akan membuatnya
menjauh dari temannya. Tentu kondisi seperti ini secara tidak langsung akan
menjauhkan anak dari kegiatan membaca.
Masyarakat
seharusnya memiliki upaya untuk menyediakan bahan bacaan. Karena minat baca
biasanya linear dengan ketersediaan bahan bacaan. Entah itu berupa koran,
majalah, buku, E-book, mengahdirkan pondok baca dan lainya. Bahan bacaan ini
patut diadakan sebagai pemantik minat baca.
4. Dari
pihak media massa (terutama radio/TV harus memanfaatkan medianya untuk ikut
mensosialisasikan pentingnya membaca. Membaca memang lebih sulit dibandingkan
dengan melihat dan mendengar. Itulah sebabnya orang lebih suka mendengarkan
radio ataupun menonton TV. Apalagi akhir-akhir ini sejumlah stasiun televisi
menayangkan program hiburan yang sangat tidak mendidik, bahkan jauh dari itu
malah merusak karakter dan moral anak. Media masa hendaknya tidak saja
mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, akan tetapi harus juga mulai membuat program
promosi membaca (reading promotion).
Sebuah program yang berkaitan dengan salah satu buku tertentu. Dengan program
tersebut diharapkan setelah anak selesai menikmati media massa tersebut ia
menjadi tertarik untuk mencari dan membaca buku yang dibicarakan.
Memaknai
keberadaan aksara
Penerapan berbagai upaya diatas
diharapkan akan menumbuhkan minat dan kebiasaan baca masyarakat terutama
anak-anak. Bila minat dan kebiasaan membaca ini telah terwujud pada setiap
orang maka akan menjadi cikal-bakal embrio dari terbentuknya masyarakat membaca
(reading sociaty) yang merupakan ciri
dari masyarakat belajar (learning sociaty)
yang diperlukan dalam masyarakat berpengetahuan (knowledge sociaty). Bukankan hal ini menjadi keinginan kita? Karena
itu marilah kita budayakan membaca, sebagai salah satu aktivitas yang memaknai
keberadaan aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar