Asalamu'alaikum
wr.wb. selamat pagi dan salam sejahtera untuk rekan-rekan guru seluruh
indonesia....
mari simak
informasi terbaru berikut ini....
Dunia
pendidikan menyambut 2016 dengan tanda tanya besar: bagaimana dengan guru yang
belum memiliki sertifikat pendidik? Menurut UU Guru dan Dosen, pada 2016,
setiap guru yang mengajar harus sudah memiliki sertifikat pendidik. Jika tidak,
mereka tidak berhak mengajar. Pensiun dini atau mutasi ke tenaga administratif.
Menurut data
Kemendikbud, dari 3.015.315 guru, ada 1,4 juta guru yang belum tersertifikasi.
Artinya, pemerintah harus segera mengeluarkan UU, perpres, atau permen untuk
menjawab masalah di atas. Intinya, harus ada payung hukum, pada 2016 guru
diperbolehkan mengajar sambil menunggu gilirannya disertifikasi. Guru belum
tersertifikasi bukan kesalahan mereka, tetapi kemampuan pemerintah dan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang terbatas.
Setidaknya
ada tiga masalah yang harus dijadikan perhatian pemerintah terkait sertifikasi
guru. Pertama, guru yang belum tersertifikasi. Mereka tetap disertifikasi
melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) atau Pendidikan Profesi Guru
(PPG).
Bagi guru
yang sudah mengajar dua tahun sebelum 2016, tetap disertifikasi melalui pola
PLPG selama sembilan hari. Sedangkan, bagi guru yang mulai mengajar pada 2015,
disertifikasi melalui pola baru, yaitu PPG selama sekitar delapan sampai 10
bulan.
Biaya PLPG
ditanggung pemerintah, sedangkan biaya PPG ditanggung guru atau calon guru.
Biaya PPG bisa saja ditanggung pemerintah, dengan syarat-syarat tertentu,
seperti calon-calon guru yang dinilai berprestasi, kompeten, telah mengabdi
lebih dari lima tahun, dan telah mengabdi di daerah 3T. Tersedia pula pilihan
PPG berbiaya sendiri, jika guru mampu atau merasa terlalu lama menunggu
panggilan.
Jika biaya
PLPG ditanggung guru, pasti akan menambah beban guru, khususnya guru swasta.
Sebagai contoh, pada 2015, ketika guru-guru dari Bangka Belitung mengikuti PLPG
di Bogor atau guru-guru dari Madura ke Gorontalo, mereka berutang untuk biaya
transportasi dan lainnya. Karena itu, pada 2016, seharusnya guru-guru mengikuti
PLPG atau PPG di LPTK yang terdekat dengan sekolah mereka.
Pola PPG
yang akan dilaksanakan pada 2016 bagi calon-calon guru baru melahirkan masalah
kedua, yaitu belum semua LPTK memiliki asrama—sebagaimana diamanahkan regulasi.
Asrama dibutuhkan untuk (terutama) pengembangan kompetensi kepribadian dan
sosial calon-calon guru. Tidak sulit mencari calon-calon guru yang pintar,
tetapi sangat sulit mencari dan melahirkan calon-calon guru yang berjiwa
pendidik.
Asrama juga
memungkinkan proses belajar klasikal berlangsung efektif karena mahasiswa bisa
datang tepat waktu. Pada saat saya mengajar PPG pada 2013, mahasiswa sering
telat dengan alasan macet dan menunggu hujan reda. Mereka tidak diasramakan,
akibatnya mereka yang jauh mencari kos, sedangkan mereka yang dari Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, berangkat kuliah dari rumah mereka
masing-masing.
Dampak
negatif lain peserta PPg yang tidak diasramakan adalah mereka masih tetap
mengajar di sekolah masing-masing, entah karena dipaksa kepala sekolah atau
karena keinginannya sendiri. Mereka memang tidak kehilangan pendapatan bulanan,
tetapi kuliah sambil bekerja sangat menguras tenaga dan menyita pikiran.
Akibatnya, bekerja dan kuliah tidak bisa berjalan efektif sesuai harapan.
Oleh karena
itu, pemerintah haruus mengidentifikasi LPTK mana saja yang belum memiliki
asrama dan segera menyediakan anggaran pembebasan lahan dan pembangunan asrama.
Jika tidak, pola PPG akan sangat variatif, sesuai dengan kondisi LPTK. Hal ini
akan mengakibatkan perbedaan keluaran calon-calon guru. Akan terjadi
kesenjangan kualitas guru di Indonesia karena perbedaankelengkapan fasilitas
LPTK.
Ketiga, guru
tersertifikasi. Banyak hasil kajian menunjukkan bahwa tunjangan sertifikasi
tidak berkorelasi dengan peningkatan kompetensi guru.sertifikasi hanya
meningkatkan kesejahteraan guru. Padahal, kecuali meningkatkan kesejahteraan,
tujuan sergur adalah peningkatan kompetensi. Namun penelitian yang dilakukan
tim 9 Kemenag terhadap guru-guru pendidikan agama (Islam, Kristen Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha) menunjukkan bahwa sertifikasi mampu
meningkatkan kompetensi guru, khususnya kompetensi pedagogis dan profesional.
Jika guru
belum sadar membelanjakan uangnya untuk pengembangan keilmuannya, guru itu
perlu perubahan mental. Bahwa menjadi pendidik itu tidak boleh berhenti
belajar; menjadi pendidik itu tidak alergi dengan perpustakaan, buku, jurnal,
dan koran; menjadi pendidik itu senang berlama-lama di acara seminar, workshop,
dan pelatihan. Selembar sertifikat pendidik tidak akan membuktikan kompetensi
guru, tetapi karya nyata berupa prestasi siswa dan prestasi dirinya.
Perubahan
mental pendidik itulah yang dibutuhkan guru-guru saat ini. Seharusnya kepala
sekolah dan pengawas mampu menginspirasi para guru di bawah binaannya untuk
menjadi guru yang pendidik. Akan tetapi, keduanya belum bisa menjalankan
fungsinya secara maksimal. Alih-alih menjadi teladan guru-guru di sekolah,
keduanya kerap menjadi sumber masalah bagi guru-guru yang kreatif, inovatif,
dan ingin maju.
Maka
pelatihan guru pasca sertifikasi merupakan pilihan pemerintah untuk
meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan. Peran pemerintah tidak
selesai dengan pemberian sertifikat pendidik. Peran itu akan melekat terus
sepanjang guru-guru mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa, dari Sabang
sanpai Marauke.
Selain
pelatihan, pemerintah harus memberikan ruang perpustakaan, rak buku, buku,
ruang laboratorium komputer, dan komputer kepada madrasah/sekolah swasta. Masih
ingat banyak madrasah yang tidak memiliki perpustakaan, apalagi laboratorium
komputer. Tidak saja siswa,perpustakaan akan meningkatkan gairah membaca guru.
Dengan membaca, pengertahuan guru akan terus bertambah dan idak ketinggalan
zaman.
Itulah tiga
masalah keguruan, sekaligus tiga agenda pencerahan guru pada 2016. Pemerintah
sah saja menuntut kompetensi dan kinerja guru pasca sertifiksi. Namun, masalah
tersebut tidak hanya bisa diselesaikan dengan pemberian tunjangan yang sering
tersendat dan jarang cair. Kecuali perbaikan kesejahteraan, guru memerlukan
fasilitas belajar yang memadai. Semoga 2016 merupakan tahun pencerahan bagi
guru.
Sumber:
(http://www.republik.co.id/)